Waktu bergulir dan usia tak sengaja terhitung dari hari demi hari yg terlewati. Sering kita tersadar betapa banyak masa dan peristiwa yg telah terlewatkan. Khususnya masa kita di sekolah... kisah manis pahit mengikuti ceritanya. Persahabatan dan percintaan menjadi bagian di dalamnya. Rasa rindu pun jadi tak terbendung...Lama tak berjumpa, dipisahkan oleh jarak, waktu dan rutinitas yg berbeda... membuat ingin bertemu kembali dalam suasana yg hangat, ceria, indah, penuh nostalgia. Media ini ingin membawa ke sana... manfaatkanlah sbg ajang silaturahmi yg akan membawa pd kebaikan.... salam hangat.

Blangkon dan Filosofinya

BLANGKON sebenarnya adalah bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Dari beberapa tipe blangkon, ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan. Dari beberapa sumber mengatakan, Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.

Sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan mempunyai rambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang blangkon. Pada dasarnya, ada 2 jenis blangkon yaitu gaya Surakarta (Solo) dan gaya Yogyakarta. 

Blangkon Yogya mempunyai mondolan, hal ini dikarenakan pada waktu itu, awalnya laki-laki Jogja memelihara rambut panjang kemudian diikat keatas (seperti Patih Gajah Mada) kemudian ikatan rambut disebut gelungan kemudian dibungkus dan diikat, lalu berkembang menjadi blangkon.
Kemudian menjadikan salah satu filosofi masyarakat jawa yang pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertutur kata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang jawa. Dia pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib, dia akan berusaha tersenyum dan tertawa walaupun hatinya menangis, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagai mana bisa berbuat yang terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya sendiri.

Blangkon Solo tidak ada tonjolan hanya diikatkan jadi satu dengat mengikatkan dua pucuk helai di kanan dan kirinya, yang mengartikan bahwa untuk menyatukan satu tujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat syahadat yang harus melekat erat dalam pikiran orang jawa.
Makna filosofi blangkon yang kedua yaitu blangkon sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede (makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan blangkon. Setelah manusia mendapat kekuatan tersebut, resmilah ia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang tugasnya mengurus alam sesisinya.

"Blangkon iku sejatine wujud modern lan praktis saka iket. Iket digawe saka kain batik sing radha dawa banjur dililitake miturut cara-cara lilitan tinentu neng sirah. Lilitan kain iku kudhu isa nutup kabeh sirah (ndhuwur kuping). Lilitane kudhu kenceng dadi ora gampang ucul. Jaman saiki iket iki wis luwih praktis merga lilitane wis didadi wis dijait dadi blangkon. Ana 2 jinis utama iket yaiku model Solo sing mburine trepes lan model Yogya sing ana mondolan neng mburine".

Memahami budaya Jawa dari sudut pandang orang Jawa (modern), sampai saat ini masih sangat sulit. Orang Jawa senang dengan ketidak jelasan (mbulet) dan gemar dengan kebasa - basian atau tidak To the point. Apabila ditawari sesuatu pun akan menjawab matur nuwun, mboten, sampun semuanya penolakan halus, padahal mungkin hatinya mau. Maka kebanyakan orang sering mengatakan orang Jawa itu "ya dalam ketidakan dan tidak dalam keiyaan".
Jangan salah sangka, tidak setiap orang Jawa yang berbahasa mlipir dengan sikapnya yang halus, juga memiliki watak (sifat) asli yang yang tergambar dari sikapnya, bisa jadi dia seorang yang culas, pendendam atau licik. Tentunya hal ini merupakan suatu kondisi yang kontradiktif. Tutur kata dan sikap santun yang ditunjukkan kadang hanyalah untuk menutupi niat dalam hati.
Maka falsafah blangkon kemudian disematkan pada sikap orang Jawa yang seperti itu, tetapi tidak semua dari orang jawa seperti itu. Dari depan blangkon terlihat rapi tetapi di belakang ada mbendholnya (mondholan), menggambarkan sikap beberapa orang Jawa yang pandai menyimpan maksud dan tujuan sebenarnya.

sumber : kaskus, suaramerdeka, wikipedia

0 comments:

Posting Komentar