Blangkon dan Filosofinya
BLANGKON sebenarnya adalah bentuk praktis dari iket
yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh
kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Dari beberapa
tipe blangkon, ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang
blangkon yang disebut mondholan. Dari beberapa sumber mengatakan,
Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat
rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian
tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus
kencang supaya tidak mudah lepas.
Sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah
dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan mempunyai rambut pendek
dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang
blangkon. Pada dasarnya, ada 2 jenis blangkon yaitu gaya Surakarta
(Solo) dan gaya Yogyakarta.
Blangkon Yogya mempunyai mondolan, hal ini dikarenakan pada waktu itu,
awalnya laki-laki Jogja memelihara rambut panjang kemudian diikat keatas
(seperti Patih Gajah Mada) kemudian ikatan rambut disebut gelungan
kemudian dibungkus dan diikat, lalu berkembang menjadi blangkon.
Kemudian menjadikan salah satu filosofi masyarakat jawa yang pandai
menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri
karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertutur kata dan bertingkah
laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka
selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi
sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang jawa. Dia pandai menyimpan
rahasia dan menutupi aib, dia akan berusaha tersenyum dan tertawa
walaupun hatinya menangis, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagai mana
bisa berbuat yang terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya
sendiri.
Blangkon Solo tidak ada tonjolan hanya diikatkan jadi satu dengat mengikatkan dua
pucuk helai di kanan dan kirinya, yang mengartikan bahwa untuk
menyatukan satu tujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat
syahadat yang harus melekat erat dalam pikiran orang jawa.
Makna filosofi blangkon yang kedua yaitu blangkon sebagai simbol
pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede
(makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai
transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat
jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi
al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu
melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan
blangkon. Setelah manusia mendapat kekuatan tersebut, resmilah ia
sebagai khalifatullah fi al-ardi yang tugasnya mengurus alam sesisinya.
"Blangkon iku sejatine wujud modern lan praktis saka iket. Iket
digawe saka kain batik sing radha dawa banjur dililitake miturut
cara-cara lilitan tinentu neng sirah. Lilitan kain iku kudhu isa nutup
kabeh sirah (ndhuwur kuping). Lilitane kudhu kenceng dadi ora gampang
ucul. Jaman saiki iket iki wis luwih praktis merga lilitane wis didadi
wis dijait dadi blangkon. Ana 2 jinis utama iket yaiku model Solo sing
mburine trepes lan model Yogya sing ana mondolan neng mburine".
Memahami budaya Jawa dari sudut pandang orang Jawa (modern), sampai
saat ini masih sangat sulit. Orang Jawa senang dengan ketidak jelasan (mbulet) dan gemar dengan kebasa - basian atau tidak To the point. Apabila
ditawari sesuatu pun akan menjawab matur nuwun, mboten, sampun semuanya
penolakan halus, padahal mungkin hatinya mau. Maka kebanyakan orang
sering mengatakan orang Jawa itu "ya dalam ketidakan dan tidak dalam
keiyaan".
Jangan salah sangka, tidak setiap orang Jawa yang berbahasa mlipir dengan
sikapnya yang halus, juga memiliki watak (sifat) asli yang yang
tergambar dari sikapnya, bisa jadi dia seorang yang culas, pendendam
atau licik. Tentunya hal ini merupakan suatu kondisi yang kontradiktif.
Tutur kata dan sikap santun yang ditunjukkan kadang hanyalah untuk
menutupi niat dalam hati.
Maka falsafah blangkon kemudian disematkan pada sikap orang Jawa yang
seperti itu, tetapi tidak semua dari orang jawa seperti itu. Dari depan
blangkon terlihat rapi tetapi di belakang ada mbendholnya (mondholan), menggambarkan sikap beberapa orang Jawa yang pandai menyimpan maksud dan tujuan sebenarnya.
sumber : kaskus, suaramerdeka, wikipedia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar